Usai menaklukkan Malaka pada 1511, rombongan besar Portugis bersiap melanjutkan misi. Sasarannya kali ini adalah Maluku, kepulauan nun di timur sana yang konon menjadi surga rempah-rempah.
Kapal-kapal berbendera Portugis itu berlayar menyusuri perairan Jawa. Transit sejenak di Gresik, kemudian melintasi Kepulauan Sunda Kecil sebelum mengarahkan tujuan akhir ke gugusan pulau-pulau kaya raya di Maluku.
Armada besar tersebut akhirnya tiba awal November 1512. Namun, Portugis bukanlah satu-satunya bangsa Eropa yang terpikat oleh kekayaan Maluku.
Tanggal 8 di bulan dan tahun yang sama, Spanyol juga berlabuh di kepulauan itu. Maka, persaingan sekaligus pertempuran sesama penghuni kawasan Andalusia itu tinggal menunggu waktu.
Andalusia adalah suatu kawasan khusus yang terletak di ujung barat daya Eropa atau di sekitar Semenanjung Iberia. Wilayah inilah yang menjadi pintu gerbang masuknya pasukan Islam Bani Umayyah dari Timur Tengah ke Eropa setelah menaklukkan Afrika Utara pada abad ke-8 M (W. Montgomery Watt, A History of Islamic Spain, 1967:17).
Sebagian wilayah Spanyol dan Portugis masuk dalam area Andalusia yang pernah dikuasai Bani Umayyah cukup lama. Dan, pada abad ke-16 M, dua bangsa bersaudara tersebut bertemu di Maluku untuk saling menanamkan pengaruh demi memperebutkan rempah-rempah yang sangat laku di Eropa.
Ketika Portugis tiba di Kepulauan Maluku, dua kerajaan Islam terbesar di kawasan itu, yakni Kesultanan Ternate dan Tidore, sedang berseteru.
Kesempatan inilah yang kemudian dimanfaatkan Portugis untuk menjajaki kemungkinan turut serta dalam pergocohan itu.
Baik Ternate maupun Tidore sebenarnya sama-sama mengajak Portugis untuk bekerjasama. Kedatangan Spanyol di Maluku membuat Portugis harus segera menentukan pilihan.
Portugis menyadari bahwa mereka wajib memperkuat posisi di kepulauan rempah-rempah itu (Bernard Hubertus Maria Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, 2008:106).
Akhirnya, Portugis memilih bersekutu dengan Ternate. Dengan sendirinya, pilihan itu membawa mereka ke dalam pertentangan dengan saudara sesama penghuni kawasan Andalusia: Spanyol.
Ya, Spanyol yang datang belakangan memilih berdiri di sisi Tidore untuk menghadapi Ternate dan Portugis.
Pilihan Portugis kepada Ternate didasari iming-iming. Kala itu, penguasa Ternate Sultan Bayanullah menjanjikan monopoli perdagangan rempah-rempah, terutama cengkeh.
Sang raja juga mengizinkan Portugis membangun pos atau kantor di wilayah Ternate.
Setelah sekian lama terlibat perang, Ternate dengan bantuan Portugis ternyata lebih unggul ketimbang koalisi Tidore dan Spanyol.
Perseteruan antara dua bangsa Eropa itu baru benar-benar usai setelah Perjanjian Zaragoza ditandatangani pada 22 April 1529.
Masing-masing diwakili oleh rajanya. Spanyol oleh Charles V, sedangkan Portugis oleh John III (H. Delpar, The Discoverers: an Encyclopedia of Explorers and Exploration, 1980: 329).
Secara garis besar, isi Perjanjian Zaragoza tetap membagi wilayah dunia di luar Eropa untuk Spanyol dan Portugis. Dari Meksiko ke arah barat hingga Kepulauan Filipina menjadi milik Spanyol.
Sementara Portugis mendapatkan wilayah dari Brasil ke timur sampai Kepulauan Maluku.
Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Zaragoza, maka Spanyol harus segera meninggalkan Kepulauan Maluku dan kembali fokus di Filipina.
Sedangkan Portugis diperkenankan tetap melakukan aktivitasnya di Kepulauan Maluku, termasuk memonopoli perdagangan rempah-rempah (Joko Darmawan, Sejarah Nasional: Ketika Nusantara Berbicara, 2017:17).
Portugis sebenarnya tidak gratis untuk mendapatkan kembali Kepulauan Maluku. Raja John III harus membayar sejumlah uang kepada Raja Spanyol, Charles V, yakni sebesar 350.000 dukat, mata uang keluaran Kekaisaran Romawi yang berlaku untuk transaksi internasional pada masa itu.
Spanyol ternyata tidak sepenuhnya rela melepaskan Maluku kepada Portugis. Armada laut Spanyol masih tetap datang ke Maluku secara diam-diam, baik yang bertolak langsung dari negara asalnya maupun kapal-kapal yang berangkat dari Meksiko dengan menyeberangi Samudera Pasifik.
Perjanjian Zaragoza merupakan tindak lanjut dari perundingan sebelumnya, yakni Perjanjian Tordesillas yang digelar tanggal 7 Juni 1494 di Valladolid, Spanyol, atau tidak lama setelah Christopher Colombus menemukan Benua Amerika pada 1492.
Paus Aleksander VI bahkan memegang peranan penting dalam Perjanjian Tordesillas. Pemimpin besar Vatikan inilah yang menentukan batas wilayah untuk Spanyol dan Portugis karena kedua kerajaan itu merupakan negara penganut Katolik yang taat.
Menurut Encyclopedia of World Trade (2015), Paus menentukan garis demarkasi (pemisah) sekitar 300 di sekitar Kepulauan Tanjung Verde, di Samudra Atlantik Utara, tepatnya pesisir barat Afrika.
Spanyol memperoleh hak kepemilikan atas wilayah di sebelah barat garis, sementara Portugis di sebelah timurnya.
Lantas, mengapa hanya Spanyol dan Portugal yang berhak mendapatkan hak eksklusif atas wilayah dunia di luar Eropa dengan Perjanjian Tordesillas itu?
Alasan pertama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Spanyol dan Portugis adalah kerajaan Katolik terbesar saat itu.
Yang kedua adalah karena Spanyol dan Portugis mempelopori penjelajahan samudera dengan mengirimkan pelaut-pelaut terbaiknya untuk menjelajah dunia baru setelah runtuhnya Bizantium (Romawi Timur) dan penguasaan Turki Ottoman atas Konstantinopel pada 1453.
Para penjelajah Eropa pertama memang berasal dari Spanyol atau Portugal. Dari Spanyol, misalnya, ada Christopher Columbus, Amerigo Vespucci, hingga Ferdinand Magellan.
Sementara Portugis menugaskan Bartholomeus Diaz, Vasco da Gama, Alfonso de Albuquerque, dan seterusnya. Para pengelana perdana ini beredar pada medio abad ke-15 M.
Adapun penjelajah dari bangsa-bangsa Eropa lainnya baru muncul setelah Perjanjian Tordesillas dan Zaragoza. Sebutlah Sir Francis Drake dari Inggris (1577), Abel Tasman dari Belanda (1642), atau Samuel de Champlain dari Perancis (1609).
Adapun kedudukan Spanyol di Filipina pasca disepakatinya perjanjian Zaragosa justru semakin mantap. Kerajaan Spanyol menjadikan Filipina sebagai koloninya selama ratusan tahun.
Kemudian, sejak 1821, Filipina ditetapkan menjadi salah satu provinsi Spanyol meskipun sempat direcoki Inggris pada 1762.
Filipina benar-benar lepas dari pendudukan Spanyol pada 1898 namun segera diakusisi oleh Amerika Serikat. Amerika baru mengakui kemerdekaan Filipina pada 4 Juli 1946 seiring berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Adapun di Ternate, Sultan Bayanullah wafat pada 1521 dan meninggalkan dua pewaris takhta yang masih berusia sangat belia.
Untuk sementara, kendali pemerintahan dipegang dua orang: Permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese (adik kandung Sultan).
Permaisuri Nukila berasal dari Kesultanan Tidore. Karena itu, setelah konflik antara kedua kesultanan usai, sang permaisuri ingin menyatukan kembali Tidore dan Ternate.
Harapannya: gabungan kerajaan itu akan dipimpin salah satu dari dua putranya, yakni Pangeran Hidayat dan Pangeran Abu Hayat.
Namun, upaya itu ternyata mendapatkan tentangan dari Pangeran Taruwese. Adik lelaki Sultan Bayanullah ini berniat menguasai takhta Ternate, dan juga Tidore, untuk dirinya sendiri.
Perang saudara pun sudah di depan mata. Permaisuri Nukila mendapatkan dukungan dari Tidore, sementara Portugis memilih berada di pihak Pangeran Taruwese (Sejarah Sosial Kesultanan Ternate, 2010:9).
Berkat bantuan Portugis, Pangeran Taruwese berhasil memenangkan pertikaian keluarga itu. Pangeran Hidayat, putra pertama mendiang Sultan Bayanullah dan Permaisuri Nukila, tewas pada usia yang masih belia.
Namun, Portugis justru menyingkirkan Pangeran Taruwese dengan cara membunuhnya. Secara otomatis, yang berhak naik takhta adalah Pangeran Abu Hayat. Ia dinobatkan sebagai Sultan Ternate ke-21 pada 1529 dan bergelar Sultan Abu Hayat II.
Ternyata, Sultan baru ini sangat membenci Portugis karena dianggap terlalu jauh mencampuri urusan internal kesultanan.
Karena itu, Portugis harus mencari cara untuk melengserkan Sultan Abu Hayat II. Pada 1531, sultan dituding sebagai otak pembunuhan Gubernur Portugis Gonzalo Pereira, sehingga ditangkap dan diasingkan ke Malaka sampai wafatnya.
Portugis kemudian memengaruhi dewan kerajaan agar mengangkat Pangeran Tabariji, saudara tiri Sultan Abu Hayat II, sebagai pemimpin Ternate berikutnya.
Upaya ini berhasil. Namun, Sultan Tabariji lama-lama kesal dengan Portugis dan berniat melawannya. Portugis kembali menggunakan cara lama tapi efektif: Sang Sultan difitnah dan dibuang jauh ke Gowa, India, pada 1534.
Tamatnya Kiprah Portugis Di India, Sultan Tabariji dipaksa mengakui Ternate sebagai bagian dari Kerajaan Portugis. Ia juga dipaksa masuk Kristen. Selain itu, Portugis juga meminta Ambon, Buru, dan Seram untuk diserahkan.
Dengan terpaksa, Sultan Tabariji akhirnya setuju dengan imbalan ia akan dipulangkan ke Ternate. Kabar tersebut membuat Kesultanan Ternate gempar.
Segenap rakyat Ternate menolak kembalinya Sultan Tabariji lantaran dianggap telah berkhianat sekaligus murtad.
Penentang utamanya adalah Sultan Khairun yang naik takhta setelah Sultan Tabariji diasingkan ke India. Khairun adalah saudara tiri Tabariji.
Sultan Khairun merupakan anak Sultan Bayanullah. Ibunya adalah orang biasa, perempuan berdarah Jawa yang dinikahi Sultan Bayanullah sebagai istri yang kesekian.
Sultan Tabariji, sementara itu, tidak pernah pulang ke Ternate karena meninggal dunia dalam perjalanan.
Mangkatnya Tabariji membuat Portugis mau tidak mau harus mengakui Khairun sebagai raja sah Kesultanan Ternate.
Bagi Portugis sebenarnya tidak masalah karena menganggap Khairun yang masih bocah bakal gampang diatur. Tapi, ternyata mereka salah.
Awalnya, Sultan Khairun tidak bersikap keras terhadap Portugis. Namun, di sisi lain, raja muda ini juga menjalin koneksi lain, termasuk dengan Kekaisaran Turki Usmani yang notabene adalah lawan utama Portugis saat itu.
Menurut Auni Abdullah dalam Islam dalam Sejarah Politik dan Pemerintahan di Alam Melayu (1991), Ternate bermitra rahasia dengan Turki melalui Kesultanan Aceh Darussalam (hlm. 178).
Untuk menjaga relasi dengan Portugis sekaligus meredam kecurigaan, Sultan Khairun memberikan sejumlah keleluasaan.
Selain dalam hal perdagangan, Portugis juga diperbolehkan menyebarkan agama mereka di Ternate.
Maka, pada 1546, sebagaimana disebutkan R.Z. Leirissa dalam Sejarah Kebudayaan Maluku (1999), tibalah seorang misionaris terbesar dalam sejarah gereja Katolik, yaitu Fransiskus Xaverius.
Terkait misi gospel Portugis tersebut, ada syarat yang diajukan oleh Sultan Khairun. Kegiatan misionaris boleh dilakukan, tapi hanya menyasar rakyat Ternate atau Maluku yang belum memeluk Islam atau masih menganut ajaran leluhur.
Namun, Portugis ingkar janji. Mereka menghasut kerajaan-kerajaan kecil di Maluku yang sudah berhasil dikristenkan untuk menggoyang kemapanan Ternate dan Sultan Khairun.
Rakyat yang tinggal di wilayah kerajaan-kerajaan itu pun dipaksa masuk agama Katolik, termasuk orang-orang yang beragama Islam.
Sultan Khairun murka atas kelakuan Portugis yang tak patut tersebut. Maka, sang sultan menyusun kekuatan untuk menghukum mereka. Perang antara Ternate melawan Portugis pun tidak terelakkan lagi.
Setelah mengumumkan perang, pasukan Sultan Khairun menggempur kerajaan-kerajaan kecil yang sebelumnya telah terindikasi bakal memberontak.
Satu demi satu kerajaan-kerajaaan tetangga itu pun dapat ditundukkan oleh Kesultanan Ternate dan sekaligus memperlemah kekuatan Portugis. Armada tempur Ternate cukup besar, salah satunya berkat bantuan persenjataan dari Turki Usmani.
Bahkan, Khairun masih bisa mengirimkan pasukan untuk membantu Aceh dan Demak yang sedang menghadapi Portugis di Malaka.
Abdul Ghofur Anshori & Yulkarnain Harahap (2008) menyebut ketiganya membentuk Tripple Alliance untuk membendung Portugis di Nusantara.
Ternate juga tak sendiri. Sultan Khairun bergabung dengan Tanah Hitu, salah satu kerajaan Islam di Maluku. Raja-raja dari Jailolo, Bacan, dan Tidore juga turut bergabung dan sepakat untuk membasmi bangsa asing (Walter Bonar Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, 1964:78).
Tidak hanya itu, Sultan Khairun juga memperoleh bantuan pasukan dari Jawa atas perintah Ratu Kalinyamat yang memerintah di Jepara. Ratu Kalinyamat adalah putri mantan penguasa Demak, Sultan Trenggono.
Benteng Portugis yang berada di wilayah Ternate dikepung pada 1558. Pangeran Laulata, putra Sultan Khairun, memimpin pasukan menyerang Portugis di Maluku selatan dengan pusatnya di Ambon. Banyak negeri di pulau itu yang berhasil ditaklukkan.
Tahun 1567, hampir seluruh kekuatan Portugis dapat diatasi oleh Ternate. Gubernur Portugis di Maluku, Diogo Lopez de Mesquita, menyerah dan memohon perdamaian.
Sultan Khairun menyambut baik permintaan itu. Portugis tetap diperbolehkan berdagang di Maluku tapi tidak lagi mendapatkan hak monopoli.
Sultan Khairun juga tidak melarang masyarakat Maluku yang telah memeluk Katolik untuk menjalankan ibadah.
Bahkan, sang sultan mengizinkan pula kaum misionaris untuk kembali beraktivitas, termasuk membangun kembali gereja-gereja Katolik, asalkan tidak menyentuh pemeluk Islam.
Situasi aman pasca-perang ternyata dimanfaatkan Portugis untuk menghimpun kekuatan lagi. Sasaran utama mereka tentu saja Sultan Khairun.
De Mesquita sadar betul, Sultan Khairun harus dilenyapkan karena untuk melawan Ternate dengan militer, Portugis bisa-bisa kalah lagi seperti sebelumnya.
Maka, taktik licik pun disusun. De Mesquita mengundang Sultan Khairun berkunjung ke Benteng Gamlamo yang menjadi markas mereka di Ternate, untuk menegaskan kembali kesepakatan damai antara kedua belah pihak.
Tanggal 26 Februari 1570, Sultan Khairun tiba di benteng. Perundingan pun dilakukan dan akhirnya disepakati pada 27 Februari 1570. Disepakati bahwa Ternate dan Portugis akan bekerjasama untuk mengawal perdamaian.
Demi mengukuhkan perjanjian, Sultan Khairun maupun de Mesquita mengucapkan sumpah di bawah kitab suci agama masing-masing.
Lantaran sudah disumpah atas nama agama, Sultan Khairun sama sekali tidak menaruh curiga kepada Portugis.
Maka, malam hari tanggal 28 Februari 1570, Sultan Khairun kembali berkunjung benteng untuk memenuhi undangan de Mesquita yang ingin menggelar perayaan atas disepakatinya perjanjian itu. Kali ini, Sultan Khairun datang tanpa pengawalan yang terlalu ketat. Meski sudah diperingatkan oleh para penasihatnya agar jangan datang, sultan tetap bersikeras.
Sultan Khairun percaya de Mesquita tidak akan melanggar sumpah yang diucapkan di bawah naungan alkitab.
Sultan Khairun tiba pukul 7 malam. Saat hendak memasuki ruangan di lantai dua benteng, hanya sultan sendiri yang diperbolehkan masuk dengan alasan ruangan tersebut adalah kamar pribadi gubernur.
Sultan setuju dan meminta para pengawalnya mundur. Sultan Khairun melangkah masuk tanpa ragu. Saat menuju ruangan tempat gubernur berada, seorang pengawal Portugis menyambutnya, seolah-olah ingin mengantarkan sultan.
Namun, tanpa diduga, orang itu dengan cepat mencabut keris dari pinggangnya dan menusuk perut Sultan Khairun bertubi-tubi. Tubuh Sultan Khairun roboh, terkulai, bersimbah darah, sekarat.
Si pelaku ternyata saudara sepupu gubernur, bernama Martin Alfonso. Aksi licik itu dilakukan atas perintah de Mesquita.
Sementara itu, tubuh Sultan Khairun yang mengalami luka tusuk sangat parah itu dibawa dengan kapal Portugis. Di tengah samudera lepas, jenazah penguasa besar Ternate ini dibenamkan ke dasar lautan.
Keesokan harinya, jasad Sultan Khairun diangkat dari laut dalam kondisi mengenaskan. Putra mahkota, Pangeran Baabullah, membopong sendiri jenazah ayahnya dengan perasaan pedih yang amat mendalam sekaligus dendam yang membara.
Sultan Baabullah bersumpah akan membalaskan dendam sang ayah. Ia tidak akan berhenti berperang sebelum orang Portugis terakhir pergi dari wilayah Ternate dan seluruh Kepulauan Maluku.
Sang sultan baru tak main-main. Strategi tempur segera dirancang. Tak cuma berniat menghancurkan lawan di area sekitar Ternate saja, ia juga bertekad menghabisi orang-orang Portugis yang ada di seluruh Kepulauan Maluku. Ambon, Seram, Bacan, Banggai, Buton, Luwik, Sula, Halmahera, hingga Celebes dikondisikan untuk menyiapkan serangan besar-besaran.
Tak hanya itu, Sultan Baabullah juga meminta bantuan Makassar, Jawa, hingga Melayu (Sumatera), untuk bersama-sama melenyapkan kaum kolonialis dari bumi Maluku.
Sultan mengobarkan Perang Soya-Soya atau perang pembebasan negeri dengan menyiapkan 2000 armada perahu tempur beserta lebih dari 120.000 prajurit. Sejak 1571, pos-pos Portugis di berbagai tempat dihancurkan.
Benteng penjajah pun satu per satu dapat direbut, dari Fort Tolocce, Santo Lucia Fortress, hingga Santo Pedro, tinggal Sao Paulo yang tersisa.
Baabullah memang sengaja tidak langsung menyerang benteng yang didiami de Mesquita sekaligus lokasi pembunuhan ayahnya itu.
Sultan Baabullah menerapkan strategi pengepungan untuk Sao Paulo dengan menutup semua akses, baik jalan maupun distribusi bahan makanan yang dibatasi dalam jumlah tertentu.
Benteng yang dibangun pada 1525 ini memang berlokasi tidak jauh dari pusat kesultanan dan termasuk ke dalam wilayah ibukota Ternate.
Pengepungan Benteng Sao Paulo berlangsung selama 5 tahun. Selama itu pula, orang-orang Portugis yang tinggal di dalamnya merasakan penderitaan yang teramat sangat dengan segala keterbatasan karena tidak bisa menjalin hubungan dengan dunia luar.
Sultan Baabullah akhirnya memberi kesempatan kepada para penghuni benteng untuk pergi dari wilayah Ternate dalam waktu 24 jam.
Sementara bagi mereka yang sudah beristrikan wanita lokal boleh tetap tinggal tapi harus mengabdi kepada kerajaan.
Setelah 15 Juli 1575, Ternate telah bersih dari orang-orang Portugis. Pamor Portugis di Ternate dan sebagian besar Kepulauan Maluku runtuh total.
Sultan Baabullah tidak hanya mengusir orang-orang Portugis dari wilayahnya, tapi juga berperan besar dalam upaya syiar Islam di Kepulauan Maluku dan sekitarnya.
Luas wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate di era pemerintahan Sultan Baabullah juga semakin bertambah setelah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di Kepulauan Maluku.
Bahkan, di luar kepulauan tersebut, masih cukup banyak kerajaan yang akhirnya memilih bernaung di bawah panji-panji Kesultanan Ternate.
Sultan Baabullah menempatkan perwakilannya yang disebut Sangaji di berbagai daerah, termasuk Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, juga di wilayah Timor Leste sekarang.
Tak hanya itu, Sultan Baabullah juga punya perwakilan yang ditempatkan di Jawa dan Sumatera, sampai Papua.
Di Papua sendiri ada cukup banyak daerah yang berhasil dirangkul, seperti Raja Ampat, Sorong, Biak, Jayapura, dan Merauke.
Wilayah taklukan Kesultanan Ternate juga membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah hingga Kepulauan Marshall di kawasan Mikronesia, dekat Australia.
Filipina bagian selatan alias Mindanao juga berhasil ditundukkan (A.G. Anshori, Hukum Islam: Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, 2008:98).
Seorang peneliti Belanda bernama Valentijn merinci setidaknya ada 72 wilayah atau kerajaan yang berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate.
Dari situlah Sultan Baabullah memperoleh julukan sebagai “Penguasa 72 Negeri” (Reid, Anthony, Southeast Asia in the Early Modern Era, 1993:38).
Meskipun sangat berkuasa, namun Sultan Baabullah tidak lantas menutup pintu rapat-rapat bagi orang-orang dari Eropa yang kemudian datang.
Mereka tetap dirangkul dan dipersilakan menjalin kerja sama, tapi tidak diberi hak-hak istimewa seperti yang dulu pernah dinikmati oleh bangsa Portugis. Pada awal 1583.
Sumber:
- Iswara N Raditya Sultan Baabullah Sang Penakluk.
- Iswara N Raditya Muslihat Portugis Membunuh Sultan Khairun.
- Iswara N Raditya, Perjanjian Zaragoza: Ketika Dunia Hanya Milik Spanyol & Portugis.