Pada 3 Agustus 1812, Tan Jin Sing bertamu ke rumah Residen Inggris di Yogyakarta, John Crawfurd yang sedang bersama atasannya, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles.
Saat itu, Raffles mengungkapkan ketertarikannya pada candi-candi peninggalan nenek moyang orang Jawa dan ingin menelitinya. Dia telah melihat Candi Prambanan dan akan memerintahkan Letkol Colin Mackenzie untuk meneliti dan memugarnya dengan bantuan dari Crawfurd.
Tan Jin Sing kemudian menyampaikan bahwa salah seorang mandornya pernah mengatakan bahwa di Desa Bumisegoro deket Muntilan, dia melihat sebuah candi besar. Memang kejadian ini telah puluhan tahun silam ketika mandor itu masih kecil. Demikian ditulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta.
Raffles langsung tertarik dan meminta Tan Jin Sing pergi ke Bumisegoro untuk melihat keberadaan candi tersebut. Hari minggu, Tan Jin Sing dan mandornya, Rachmat, berangkat naik kereta kuda ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka mengajak warga desa bernama Paimin, sebagai penunjuk jalan.
Paimin berjalan di muka, membuka jalan sembari membabat semak belukar dengan parangnya. Setelah menaiki bukit, mereka sampai di lokasi candi. Kata Paimin namanya candi Borobudur, tulis Werdoyo.
Kondisi candi saat itu menyedihkan. Ditumbuhi tanaman dan bagian bawahnya terkubur dalam tanah, sehingga candi itu seolah-olah berada di atas bukit, Sekelilingnya penuh semak belukar. Selesai mengamati monumen kuno itu, mereka kemudian kembali.
Setelah memberi upah secukupnya kepada Paimin, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat pulang. Sepanjang perjalanan, dia mengutarakan ketakjubannya akan Borobudur kepada Rachmat. Dia menaksir candi itu sudah berumur 1000 tahun dan merupakan peninggalan orang Jawa yang beragama Hindu dan Budha.
“Setelah orang Jawa menganut Islam, upacara di candi ditinggalkan sehingga pemeliharaan candi itu terabaikan. Dia juga berpikir tentang orang Belanda yang sudah lebih dari 100 tahun di Pulau Jawa tetapi kurang memberi perhatian pada candi-candi itu. Atas dasar ini dia merasa heran dan kagum bahwa orang Inggris yang justru tertarik pada monumen itu,” tulis Werdoyo.
Setiba di rumah, Tan Jin Sing membuat peta lokasi Borobudur dan menulis secara singkat laporan pandangan mata tentang keadaan sekeliling candi. Dalam suratnya, dia mengusulkan supaya diperkenankan membersihkan pepohonan dan semak belukar di sekitar candi, serta membuat akses jalan menuju candi supaya tim yang akan dikirim Raffles tidak kesulitan dalam menelitinya. Laporan itu dikirim kepada Raffles di Batavia.
Pada November 1813, Raffles mengirim surat kepada Tan Jin Sing. Dia mengizinkan Tan Jin Sing membersihkan hutan belukar yang menutupi candi dan membuat jalan menuju candi. Dia ingin bertemu dengan Tan Jin Sing di Semarang pada 12 Januari 1814. Setelah itu, dia dan tim ahli purbakala akan meneruskan perjalanan ke Bumisegoro.
Setelah membaca surat tersebut, keesokan harinya, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka meminta Paimin dan penduduk setempat membersihkan 20 meter sekitar candi. Mereka juga membuat jalan selebar lima meter dari Bumisegoro menuju candi. Pekerjaan harus selesai sebelum akhir Desember 1813.
Pagi 11 Januari 1814, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat menuju Semarang. Rachmat turun di Bumisegoro. Tan Jin Sing berpesan kepada Rachmat bahwa lusa dia dengan Raffles dan rombongannya akan meninjau candi Borobudur. Untuk itu, Rachmat diminta tetap tinggal di situ sambil melakukan persiapan.
Di Semarang, Tan Jin Sing diperkenalkan kepada Mayor Herman Christian Cornelius, arkeolog berkebangsaan Belanda dan ketiga stafnya. Raffles tidak bisa ikut dengan rombongan karena harus segera ke Surabaya. Keesokan harinya, Tan Jin Sing beserta Cornelius dan stafnya bertolak menuju Bumisegoro.
Sesampainya di lokasi candi, Tan Jin Sing berkata kepada Cornelius: “Seperti tuan lihat, candi ini tampaknya berada di atas bukit. Kaki candi ada di bawah tanah, tetapi saya tidak berani menyuruh mandor saya, Rachmat, untuk melakukan penggalian karena khawatir bila tidak dilakukan dengan pengawasan yang cermat, bisa merusak batu-batu yang tertimbun di bawahnya. Di atas candi itu masih ada tetumbuhan. Saya tidak berani menyuruh mencabutnya takut kalau batu-batu itu akan runtuh.”
Cornelius mengapresiasi pekerjaan Tan Jin Sing. “Tuan sudah bersihkan tanah dua puluh meter di sekeliling candi. Ini cukup bagus, tetapi saya pikir perlu diperluas hingga lima puluh meter. Siapa yang tuan minta mengerjakan ini?” Tanya Cornelius.
Tan Jin Sing meminta Rachmat dan Paimin mengerahkan penduduk untuk memperluas areal yang dibersihkan sampai lima puluh meter. Setelah pekerjaan itu selesai, Cornelius dan stafnya mulai bekerja melakukan pengukuran dan membuat gambar. Cornelius menargetkan pekerjaannya selama dua bulan.
Frederik Coyett boleh jadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Borobudur pada 1733 dan mencuri sejumlah patung. Begitu pula dengan Raffles yang berperan dalam menugaskan Cornelius dan stafnya untuk melakukan penelitian di candi Borobudur. Namun, pembuka jalan pertama ke Borobudur adalah seorang Tionghoa, Tan Jin Sing dibantu mandornya, Rachmat dan Paimin serta penduduk setempat.
Tan Jin Sing atau Raden Tumenggung Secodiningrat menjabat bupati Yogyakarta sampai meninggal pada 10 Mei 1831. Namanya sempat diabadikan menjadi Jalan Secodiningratan, namun kemudian diganti menjadi Jalan P. Senopati.
SIAPAKAH SEBENARNYA TAN JIN SING YANG KEMUDIAN TERKENAL SEBAGAI KANJENG RADEN TEMENGGUNG SECODININGRAT ITU?
Menyebut nama Kapitan Tan Jin Sing bisa jadi sebagian kita banyak yang tidak mengenalnya. Namun bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Yogyakarta dan sekitarnya Tan Jin Sing adalah seorang tokoh yang sangat dibanggakan. Nama ini tidak saja sebagai lambang kebanggan masa lalu, tetapi juga merupakan bukti sejarah pengabdian masyarakat Tionghoa dalam perjalanan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Menilik dari sejarahnya, pengabdian masyarakat keturunan Tionghoa itu ternyata sangat besar artinya. Ini terbukti dengan terdapatnya tiga keturunan Tionghoa di lingkungan Keraton Yogyakarta, masing-masing Trah Secodiningrat, Trah Honggodrono, dan Trah Kartodirjo.
Trah Secodiningrat merupakan trah yang diturunkan oleh KRT Secodiningrat, seorang Bupati Nayoko (setingkat menteri) di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Raja.
Karena namanya Tan Jin Sing, banyak yang mengira bahwa ia adalah seorang lelaki gagah, tampan, bermata agak sipit dan berkulit kuning dengan rambut berkucir. Ternyata salah, Tan Jin Sing seorang lelaki tampan, berwibawa, berkulit hitam manis, dan tidak bermata sipit. Sorot matanya tajam dan bersih, seperti bangsawan-bangsawan Jawa lainnya di masa itu.
Dalam riwayatnya Tan Jin Sing memang tumbuh dan besar di lingkungan keluarga Oei The Long, seorang kaya dan juragan gadai di Wonosobo (sekarang masuk Jawa Tengah). Meski kulit dan matanya berbeda jauh dengan keluarga Oei The Long atau lebih dikenal dengan panggilan Bah Teng Long. Namun tidak banyak yang percaya jika Tan Jin Sing sesungguhnya bukan berasal dari darah keturunan Oei The Long. Hingga sekarang, masih ada yang meyakini jika Kapitan Tan Jin Sing berdarah Tionghoa dan putera kandung dari juragan gadai Oei The Long.
Sesungguhnya Tan Jin Sing keturunan asli bangsawan Jawa. Ia merupakan cicit dari Adipati Danurejo I, patih pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bahkan jika ingin menelusurinya lagi ke atas, Tan Jin Sing merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung di Mataram.
Pendapat ini merujuk dari silsilah Bupati Banyumas Raden Temenggung Yudonegoro III yang merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung itu berputera 27 orang dari tiga isteri dan enam orang selir. Anaknya yang ke-16 seorang puteri bernama Raden Ayu Patrawijaya diperisteri Demang Kalibeber, Wonosobo.
Dari perkawinannya dengan Demang Kalibeber, Raden Ayu Patrawijaya memperoleh tiga orang putera. Anaknya yang bungsu seorang lelaki, diberi nama Raden Luwar.
Belum lagi Raden Luwar dewasa, ayahnya yang Demang Kalibeber meninggal dunia. Seorang kaya di Wonosobo, teman dekat Demang Kalibeber, yakni juragan gadai Oei The Long menaruh kasihan pada si kecil Raden Luwar yang sudah menjadi yatim itu. Oei The Long lalu meminta kepada Raden Ayu Patrawijaya agar diperkenankan mengasuh dan membesarkan Raden Luwar.
Singkat cerita permintaan Oei The Long dikabulkan. Raden Luwar pun lalu diangkat sebagai anak angkatnya. Tetapi perkembangan tidak berhenti di situ. Pertautan batin antara seorang ibu dengan anaknya ternyata tak dapat diputuskan begitu saja. Hampir tiap hari Raden Ayu Patrawijaya selalu ingin bertemu dengan anaknya. Demikian pula halnya dengan si kecil Raden Luwar, ia selalu bermurung diri dan menangis ingin bersama ibunya.
Perkembangan itu membuahkan situasi yang baru pula. Karena sering bertemu, cinta pun tumbuh di hati Oei The Long dan Raden Ayu Patrawijaya. Demi perkembangan jiwa Raden Luwar, akhirnya Raden Ayu Patrawijaya menikah dengan Oei The Long secara Islam. Karena secara kebetulan, Oei The Long juga seorang Tionghoa penganut Islam.
Begitu resmi menjadi anak tirinya, Oei The Long yang anak Kapitan Oei Tiong Haw di Semarang itu lalu memberi nama Tionghoa kepada Raden Luar. Nama Tionghoa yang diberikan kepada Raden Luar itu, adalah Tan Jin Sing.